indonesia ragaku merah putih jiwaku

Tempat pemasangan.
Mau dipasang dimana? Kalau dipasang di belakang sebuah podium dan terbaca selalu oleh audien boleh-boleh saja. Tapi kalau dijalan protokol (umumnya di situ, bukan?) sebaiknya coba dekati ke pola 3 kata; Subjek, Predikat, Objek jelas.

Pemilihan warna. Pilihan warna yg umum digunakan pada spanduk.
Kontras lebih baik. Warna kain, di-invert dapatlah warna tulisan
Warna dasar RGB, pasti lebih mudah bila sebagai tulisan (minor) & menyulitkan bila digunakan sebagai background (mayor).

Tulisan berwarna biru biasanya membuat mata pedih bila kalimat banyak & tulisan kecil
Putih itu bukan warna, jadi memutihkan background berwarna sebaiknya dihindari
Jauhi warna-warna yg banyak di sekitar lokasi pemasangan.
Misalnya; spanduk hijau bertuliskan kuning di antara rindangnya pepohon sebuah taman.

Cermati pilihan katanya. Kata-kata yang digunakan sebaiknya tidak terlalu banyak. Kata-kata yang digunakan cukup 12 Kata. Lebih mudah mengingat kata-kata yang sedikit terlebih dahulu.
–coba saja: anak TK diajari Pancasila, dia akan lebih mudah menginggat sila ke-tiga “Persatuan Indonesia”, ketimbang sila-sila lainnya.

“Mari Kita Wujudkan Negara Yang Aman, Damai, Tentram Dan Bebas Dari Sampah.”

Kalimat yang mempunyai dua pola kalimat atau lebih. Setiap kalimat majemuk mempunyai kata penghubung yang berbeda, sehingga jenis kalimat tersebut dapat diketahui dengan cara melihat kata penghubung yang digunakannya.

Jenis-jenis kalimat majemuk adalah:

Kalimat Majemuk Setara
Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat Majemuk Campuran
Kalimat Majemuk Rapatan

Kalimat majemuk setara

Penggabungan 2 kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya sejajar/sederajat. Berdasarkan kata penghubung (konjungsi), kalimat majemuk setara dibagi menjadi 5 macam, yakni:

Kalimat Majemuk Setara Penggabungan: Menggunakan kata penghubung `dan`
Kalimat Majemuk Setara Penguatan: Menggunakan kata penghubung`bahkan`
Kalimat Majemuk Setara Pemilihan: Menggunakan kata penghubung `atau`
Kalimat Majemuk Setara Berlawanan: Menggunakan kata penghubung `tetapi`, `sedangkan`, `melainkan`
Kalimat Majemuk Setara Urutan Waktu: Menggunakan kata penghubung `kemudian`, `lalu`, `lantas`

Kalimat majemuk bertingkat

Penggabungan 2 kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya berbeda. Di dalam kalimat majemuk bertingkat terdapat unsur induk kalimat dan anak kalimat. Anak kalimat timbul akibat perluasan pola yang terdapat pada induk kalimat.

Kalimat, dari bahasa Arab, adalah satuan lingusitik terkecil yang bisa berdiri sendiri. Dalam bahasa Latin disebut sintaks atau sintaksis

dalam linguistik, kalimat : satuan dari bahasa /arus ujaran yang berisikan kata atau kumpulan kata yg memiliki pesan atau tujuan dan diakhiri dengan intonasi final.

Pengertian Kalimat & Unsur Kalimat
Kalimat: gabungan dari dua buah kata atau lebih yang menghasilkan suatu pengertian & pola intonasi akhir
Setiap kalimat memiliki unsur penyusun kalimat. Gabungan dari unsur-unsur kalimat akan membentuk kalimat yang mengandung arti. Unsur-unsur inti kalimat antara lain SPOK

Berikut ini adalah contoh kalimat secara umum :

- kris John adalah Pemenang Tinju Indonesia yang pertama.
- Bang Napi dihadiahi timah panas oleh polisi.
- The Virgin sedang konser tunggal di pantai karnaval ancol yang sejuk dan indah

Hukum DM (Diterangkan-Menerangkan) adalah istilah yg mula - mula dimunculkan oleh almarhum Sutan Takdir Alisjahbana.
Hukum DM itu sendiri memang merupkan salah satu sifat utama bahasa Indonesia
Sebuah frasa, terdiri atas unsur utama yg diikuti oleh unsur penjelas.
Ada jg bentuk susunan sebaliknya yaitu MD, tetapi jumlahnya agak terbatas.
Konstituen pembentuk frasa itu pun bermacam-macam, boleh nomina, verba, adjektiva, pronomina, dan sebagainya.

Kita lihat contoh berikut ini:
NN : kandang kuda
NAdv : anak kemarin
NPron : anak saya
NFrPrep : rumah di bukit
NAd : rumah besar
VAdv : pergi lama
NPron : anak itu
NV : rumah makan

Baik kata pertama (yang diterangkan) maupun kata kedua (yang menerangkan) dapat terdiri dari kelas kata apa saja: nomina, verba, dan sebagainya.
Juga bukan terdiri atas kata - kata sederhana (simple word), namun dapat juga atas kata - kata turunan (complex words).
Misalnya: pertimbangkan hati nurani, ketenangan pikiran, kesederhanaan & penampilan.

Konstituen menerangkan yg terdiri atas adverbia, frasa preposisi & numeralia terletak mendahului konstituen utama yg diterangkannya.
Misalnya: belum dewasa, sudah pergi, di pasar, dari sekolah, lima anak, tiga buah patung.

Arti atau makna yang ditimbulkan oleh paduan kedua unsur frasa itu dapat bermacam - macam seperti terlihat pada contoh berikut:

NV : rumah makan, kamar tidur (untuk tempat)
NAd : rumah baru, rumah sederhana (bersifat)
NN : padang pasir (yang tediri dari), buku bacaan (untuk di)
VAd : makan besar, tidur nyenyak (bersifat)
AdAd : biru muda, hitam manis (bersifat)
NumN : lima hari, seratus orang (menyatakan jumlah) dan sebagainya.

Melihat contoh di atas, bahwa dalam membentuk frasa, kita pada umumnya menyusunnya seperti itu, yaitu pokok, yang utama, yang diterangkan kita letakkan di depan, sedangkan keterangan / penjelasannya kita letakkan sesudah unsur pokok itu.
Inilah yang ditonjolkan oleh istilah Hukum DM itu.

Di sinilah kita lihat perbedaan antara bahasa Indonesia (jg bahasa lain yg termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yg tergolong dalam rumpun Indo-German seperti bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
Dalam bahasa itu susunannya adalah MD, yaitu konstituen penjelasnya.

Misalnya: schoolbuilding (Inggris) `bangunan sekolah`, gouverneurkantoor (Belanda) `kantor gubernur`.
Ada pula yg menanyakan apakah seorang wanita yang menjadi dokter disebut wanita dokter wanita?
Perhatikan: wanita dokter ialah `wanita yang menjadi dokter`, sedangkan dokter wanita ialah `dokter yg keahliannya ialah penyakit-penyakit yang diderita oleh wanita; bandingkan dengan.

Contoh:
dokter anak dan anak dokter
dokter kandungan dan kandungan dokter
wanita pencuri dan pencuri wanita
wanita penipu dan penipu wanita.

NEGERIKU BERLABUH KEMBALI

Sejenak kita rebahkan hati

Di tanah kelahiran ibu pertiwi

Selama waktu yang telah terlewati

Jauh!....semua sadar bahkan mengerti

Mengapa semua ini terjadi?

Dan harus berada di negeri kita ini?

Lihat.......!!!

Disana, disini, dibarat, ketimur dan utara

Ribuan rupa bala dan bencana telah terjaga

Terkoyak, dicabik dan takberdaya

Kita melihat ribuan nyawa saudara – saudara kita

Terlepas mati untuk selama – lamanya

Sadarlah, bangkit dan ingatlah DIA!

Bangun dan susunlah tembok akal yang bermoral

Hapus dan hilangkan budaya – budaya tercela

Agar Putih bersih dan bersahaja tanah airku

Merah setajam Darah perjuangan pahlawan

Negeriku Berlayar …….

Negeriku Berlabuh dalam satu naungan

Bangsa Indonesia


Surabaya, 25 Nopember 2009

Suratman

KERANGKA KARANGAN

Sebelum menyusun karangan, lebih-lebih yang bersifat ilmiah, terlebih dahulu pengarang harus membuat kerangka karangan. Adapun tujuan pembuatan kerangka karangan adalah :

1. Agar karangan tidak menyimpang dari tema yang telah ditentukan.

2. Agar pokok pikiran-pokok pikiran tersusun secara runut dan rapi.

3. Agar tidak ada pokok pikiran yang kontradiktif dalam karangan.

Pada dasarnya kerangka karangan terdiri dari bagian pembukaan, isi, dan penutup. Pada bagian pembukaan, dirumuskan secara ringkas latar belakang pentingnya suatu tema dibahas. Bagian isi memuat point-point pokok pikiran yang akan ditulis, sedangkan pada bagian penutup berisi kesimpulan dan atau saran-saran.

Contoh :

Tema : Dampak Positif dan Negatif Modernisasi bagi Remaja

I. Pembukaan : Pada masa sekarang ini telah terjadi modernisasi yang

menimbulkan berbagai dampak, khususnya di kalangan remaja.

II. Isi : 1. Dampak Positif Modernisasi :

a. Kemajuan teknologi di segala bidang

b. Kemajuan informasi, sehingga terjadi globalisasi

c. Kehidupan menjadi lebih mudah karena semua tersedia

2. Dampak negatif modernisasi :

a. Terkisisnya budaya dan adat-istiadat bangsa sendiri

b. Meningkatnya individualisme

c. Kesenjangan sosial – ekonomi kian besar karena hanya

orang yang mampu saja yang dapat benar-benar

menikmati modernisasi

3. Bagaimana harus bersikap?

a. Terima modernisasi yang sesuai dengan jiwa bangsa

b. Tanamkan pendidikan moral

c. Tanamkan pentingnya kehidupan sosial agar tidak tergeser oleh individualisme

III. Penutup : a. Modernisasi tidak perlu dicegah, namun perlu persiapan mental

untuk menerima dan mengembangkannya.

a. Modernisasi yang benar-benar berdampak negatif hendaknya

ditolak.

1. Diskusi sebagai Salah Satu Bentuk Pembelajaran Bahasa Asing

Istilah diskusi di sini berupa suatu konstruk yang oleh penulis diisi pengertian yang sedikit berbeda dengan istilah diskusi dalam kaitannya dengan debat, dan diskusi dalam kaitannya dengan bentuk pembelajaran pada umumnya. Pengertian umum diskusi adalah membicarakan suatu masalah oleh para peserta diskusi dengan tujuan untuk menemukan pemecahan yang paling baik berdasarkan berbagai masukan. Sebaliknya, debat adalah pembicaraan tentang suatu masalah dengan tujuan untuk memenangkan atau mempertahankan pendapat yang dimiliki oleh peserta debat. Sangat mungkin, pendapat yang dimenangkan bukan yang terbaik.

Diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran umum adalah suatu cara pembelajaran di mana peserta didik (murid, mahasiswa) mendiskusikan (membicarakan, mencari jawaban bersama) dengan cara saling memberikan pendapatnya, kemudian disaring untuk ditemukan kesimpulan. Tentu saja persyaratan terjadinya pembelajaran dengan diskusi adalah bahwa bahasa benar-benar sudah sangat dikuasai oleh peserta didik. Guru tidak lagi memberikan perhatian pada bahasa, melainkan pada isi atau materi diskusi.

Diskusi di dalam makalah ini diberi pengertian sebagai bentuk pembelajaran bahasa asing, di mana para peserta diskusi mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah (topik). Seseorang mempersiapkan pendapatnya secara tertulis dalam bentuk karangan pendek, kemudian disajikan di kelas. Yang lain memberikan tanggapan secara lesan. Kebenaran pendapat yang disampaikan, baik oleh penyaji makalah maupun teman-temannya, memang perlu diperhatikan, tetapi yang lebih ditekankan adalah bahasa yang dipergunakan benar atau tidak. Di samping itu, kesimpulan pendapat tidak perlu dituntut. Maka, tugas guru (instruktur) lebih pada merekam (mencatat) kesalahan-kesalahan bahasa apa saja yang dibuat oleh peserta diskusi.

Konteks diskusi di dalam makalah ini mirip dengan apa yang terjadi pada pelaksanaan perkuliahan seminar bahasa dan sastra, atau perkuliahan seminar pengajaran bahasa dan sastra di program studi atau jurusan bahasa dan sastra. Dalam pelaksanaan perkuliahan jenis ini, di samping diperhatikan tercapainya kompetensi sebagai pemakalah dalam menulis makalah, menyajikan makalah, menjawab pertanyaan; dan tercapainya kompetensi sebagai pemandu, penambat, dan pembahas tertunjuk, juga masih diperhatikan bagaimana pembahasaan (cara mengungkapkan dengan bahasa) dalam makalah, bagaimana pemakaian bahasa dalam bertanya jawab, dan menuliskan tambatan.

Pembelajaran bahasa asing dengan diskusi jarang terjadi hanya dengan satu pertemuan, tanpa didahului oleh pertemuan-pertemuan pendahuluan. Mengapa? Karena untuk dapat berdiskusi diperlukan bahan diskusi. Oleh karena itu, sebelum bentuk pembelajaran diskusi dapat diterapkan perlu ada pembelajaran-pembelajaran dengan bentuk pembelajaran lain untuk tujuan membekali bahan, baik bahan diskusi maupun bahan bahasanya sebagai alat diskusi. Menurut pengalaman, dalam suatu kursus bahasa---berarti terjadi secara terencana, dari pertemuan ke pertemuan yang lain--pelaksanaan pembelajaran bahasa asing dengan diskusi menjadi efektif jika diawali dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan topik-topik yang berhubungan; baru pada awal pertemuan-pertemuan berikutnya (konkretnya pada awal minggu berikutnya) dilaksanakan pembelajaran dengan diskusi. Bahan diskusi berupa perpaduan (ramuan atau olahan) dari topik-topik yang dipelajari pada pertemuan-pertemuan sebelumnya..

Mengapa bentuk diskusi cocok untuk pencapaian bahasa tingkat CALP? Menurut pengalaman, belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dengan bentuk diskusi memiliki keuntungan-keuntungan berikut. Pertama, dengan diskusi, memang materi bahasa bagi pembelajar "tidak" menjadi fokus perhatian mereka. (Materi bahasa menjadi perhatian pada waktu persiapan diskusi, yaitu pada waktu pertemuan-pertemuan pendahuluan). Yang menjadi fokusnya justru bagaimana pembelajar mengemukakan pendapatnya dengan logika, data, dan gagasannya. Bagi pembelajar tingkat lanjutan, berarti pada tingkat dicapainya CALP, kemampuan berbahasa "sudah" mereka miliki. Jadi, rasa takut salah dalam berbahasa sudah berkurang, atau bahkan dapat dihindari. Kedua, dengan diskusi, pembelajar "dipaksa" mengemukakan pendapatnya. Keterpaksaan itu justru mendorong pembelajar--tanpa "takut" salah dalam berbahasa--dengan sekuat tenaga dan sebanyak yang dimiliki untuk digunakan pada waktu menjadi pemakalah, atau pembahas, atau pemandu, atau notulis (penambat). Ketiga, semua keterampilan--mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis--dipelajari. Keempat, bagi pembelajar lanjut, yang pada umumnya adalah mereka yang duduk di perguruan tinggi, karena terjadinya transfer of learning, apa yang pernah diperolehnya--dalam hal ini penguasaan tentang aturan-aturan membuat makalah, dan sebagainya--dengan mudah dapat dimanfaatkan.

2. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa dengan Diskusi

Dengan memakai pengalaman mengajar beberapa tahun yang lalu, maka pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dengan diskusi perlu melalui pertemuan-pertemuan pendahuluan dengan materi diskusi yang saling berkaitan, dan dengan materi bahasa yang berkelanjutan. Pada pelaksanaan diskusinya sendiri terdapat kegiatan sebagai berikut. Seseorang ditunjuk menyajikan apa yang ditulis. Sebelumnya karangan yang disusunnya dibagikan kepada teman-temannya, dan kepada guru atau instrukturnya.

Karena diskusi di sini merupakan bentuk pembelajaran dan masih tetap ditekankan pada penyempurnaan penguasaan bahasa, maka tidak diperlukan pemandu khusus. Instruktur sendiri yang mengatur jalannya "diskusi", di samping tugasnya yang pokok, yaitu mencatat--syukur dapat merekam-- kesalahan yang dibuat, baik oleh pemakalah maupun oleh yang lain, terutama kesalahan pada pemilihan kosa kata, penulisan kata, pemakaian dan pemilihan bentuk kata, pengucapan kata dan kalimat, penyusuna kata menjadi kalimat, dan menjadi paragraf. Kesalahan-kesalahan bahasa yang dibicarakan lebih ditekankan pada penyimpangannya dari kebakuan bahasa seperti yang diuraikan di muka sebagai ciri diperolehnya kompetensi CALP. Unsur sosiolinguistis dan pragmatis dari penggunaan bahasa itu juga perlu diperhatikan. Jika dianggap perlu dapat ditambahkan cultural notes dan etika berdiskusi. Tentu saja, karena dalam kursus-kursus bahasa asing terkandung unsur promosi, instruktur perlu juga bercerita sebagai pelengkap (pengayaan) terhadap topik-topik itu. (sayang tidak tersimpan satu contoh makalah yang peserta waktu itu).(AMS)

Pembelajaran (learning) bahasa harus dibedakan dengan pemerolehan (acquiring) bahasa. Jika pemerolehan bahasa terjadi secara tidak disengaja, maka pembelajaran bahasa diperoleh dengan sengaja. Jika pemerolehan bahasa terjadi karena kehendak kuat untuk menjadi bagian (bersoialisasi dengan) atau kehendak kuat untuk dianggap sebagai warga pemilik bahasa itu, maka pembelajaran bahasa terjadi karena "keinginan" untuk mengenali kehidupan orang-orang yang mempergunakan bahasa itu. Jika pemerolehan bahasa terjadi secara tidak direncanakan, dirancang, disistematisasikan, maka pembelajaran bahasa terjadi karena pihak lain merancangnya tahap demi tahap, bahan demi bahan, tujuan demi tujuan. Rancangan dari pihak lain dapat saja wujud konkretnya menjadi suatu modul atau program pembelajaran, yang tanpa bantuan orang lain--tanpa guru-- dapat dikuasainya. Jika pemerolehan bahasa terjadi melalui intake (bahan bahasa yang meaningful/contextual/functional), maka pembelajaran bahasa dapat saja terjadi melalui bahan-bahan bahasa tanpa konteks.

Karena diketahui hasilnya sangat efektif, maka cara memperoleh (acquiring) bahasa seperti disebutkan di atas diadopsi ke dalam pembelajaran (learning) bahasa. Muncullah karena itu cara pembelajaran kontekstual, di mana materi bahasa dirakit dalam suatu konteks, dipilih sesuai dengan tingkat keseringan kemunculannya, dan dipilih berdasarkan konteks fungsional. Itulah sebabnya, pemilihan materi bahasa harus juga mendasarkan faktor sosiolinguistis dan pragmatis. Faktor sosiaolinguistis menentukan pilihan-pilihan variasi sosiaolinguistis: siapa mitra bicara, dalam konteks apa berbicara, saluran apa yang dipilih, tujuan apa yang dicapai. Faktor pragmatis menentukan pilihan-pilihan variasi kebahasaan berdasarkan tingkat keresmian komunikasi.

Mempelajari bahasa berdasarkan ciri-ciri seperti yang terjadi pada pemerolehan bahasa itulah yang secara khusus disebut mempelajari bahasa dengan pendekatan komunikatif. Tujuan pokok dari belajar bahasa dengan pendekatan itu adalah dicapainya kemampuan berkomunikasi pada diri pembelajar. Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa menjadi pandom (penuntun) pemilihan variasi-variasi bahasa, yang meliputi variasi ucapan, pilihan kosa kata, pilihan bentuk kata, pilihah frasa, klausa, jenis kalimat, urutan unsur-unsur kalimat, bahkan pilihan jenis wacana tertentu. Karena fungsi bahasa harus menuntun pilihan variasi bahasa, maka mau tidak mau konteks ( wacana) menjadi pandon penting.

1. Tujuan Belajar Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing

Mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (termasuk mempelajari bahasa lain sebagai bahasa asing) memiliki tujuan, yaitu tercapainya keterampilan berbahasa pada diri si belajar (learner). Ia menjadi dapat berbahasa, dapat berhubungan dengan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Namun demikian, perlu dibedakan adanya dua jenis tujuan, yaitu umum dan khusus. Jika seseorang mempelajari bahasa asing semata-mata untuk dapat berkomunikasi keseharian dengan penutur bahasa itu, maka tujuan yang tercapai adalah tujuan umum. Tercapainya tujuan umum seperti ini mempersyaratkan tercapainya keterampilan yang disebut BICS (basic interpersonal communication skills). Oleh karena itu, tekanan penguasaan adalah bahasa sehari-hari sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan praktis, misalnya bagaimana si belajar menyapa, menawar, menolak, mempersilakan, mengucapkan terima kasih, menyatakan penyesalan, mengajak, meminta izin, memintakan izin, menyela, menyudahi percakapan, berpamitan, memperkenalkan diri, memperkenalkan temannya, mengeluh, memuji, memberi dan membalas salam, berobat, menelepon, pergi ke bank, dan sebagainya.

Sebaliknya, jika seseorang ingin mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diungkapkan dalam bahasa itu, maka tujuan yang tercapai adalah tujuan khusus. Misalnya, ia ingin mempelajari kepercayaan yang dianut suatu suku bangsa, atau mempelajari kebudayaan suatu suku bangsa. Tercapainya tujuan seperti ini mempersyaratkan tercapainya keterampilan yang disebut CALP (cognitive/academic language proficiency).

Tentu saja, bahan yang diajarkan untuk dua jenis tujuan itu berbeda meskipun pendekatan yang dipergunakan sama; bahkan ciri-ciri kebahasaan bahasa Indonesia yang diajarkan juga berbeda. Soewandi (1993) menyingkat ciri khas bahasa untuk tujuan tercapainya BICS menjadi lima kecenderungan: (1) dipergunakannya bentuk- bentuk kata yang tidak formal, (2) dipergunakannya kosa kata tidak baku, (3) dihilangkannya imbuhan-imbuhan kata (afiks) dan kata-kata tugas yang tidak menimbulkan salah tafsir, (4) penulisan yang tidak baku, dan (5) dipakainya susunan kalimat yang sederhana dan lebih cenderung tidak lengkap. Sebaliknya, ciri khas bahasa untuk tujuan tercapainya CALP ada lima kecenderungan, yaitu ditekankannya penggunaan: (1) bentuk-bentuk kata yang baku, (2) kosa kata teknis dan baku, (3) imbuhan dan kata-kata tugas secara lengkap, (4) kaidah-kaidah penulisan, dan (5) susunan kalimat yang baku, lengkap unsurnya, dan pada umumnya lebih kompleks.

Pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dapat memilih salah satu dari kedua tujuan itu meskipun dapat saja keduanya. Hanya saja, untuk dapat.menguasai CALP, dituntut dimiliknya BICS lebih dahulu. Mengapa? Karena mereka yang mempelajari bahasa dengan tujuan CALP pada umunya mereka yang ingin mendalami salah satu aspek dari kegiatan manusia Indonesia, entah mendalami kebudayaannya, kehidupan sosialnya, atau politiknya, atau manusianya sebagai paguyupan tertentu (antropologis). Untuk dapat mencapai tujuan itu, secara metodologis ia harus menjadi bagian dari kehidupan yang ingin dikenali. Oleh karena itu, mau tidak mau, penguasaan BICS menjadi penolong yang penting dalam penemuan data yang diinginkan.Karena pada umumnya pembelajaran bahasa dibedakan menjadi tiga tingkat--permulaan, tengahan dan lanjutan--kiranya pembelajaran dengan diskusi hanya cocok diterapkan pada pembelajaran bahasa dengan tujuan tercapainya CALP; berarti hanya cocok bagi mereka yang sudah ada di tingkat lanjutan.

Judul makalah itu mengacu, tentu saja, pada tercapainya tujuan belajar bahasa pada tingkat CALP. Mengapa? Karena belajar dengan diskusi mengandaikan "penguasaan bahasa" sudah terpenuhi. Pada tingkat CALP ini, pada umumnya kursus-kursus bahasa Indonesia bagi orang asing menuntut tercapainya profil kompetensi : (1) mampu berbicara tentang topik-topik tertentu sesuai dengan bidang minatnya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (2) mampu mendengarkan pembicaraan dalam seminar, mendengarkan berita-berita dari radio dan televisi; (3) mampu membaca teks-teks asli (di majalah, atau surat kabar, terutama untuk memahami ide-ide yang ada di dalamnya), dan (4) mampu mengungkapkan gagasannya secara tertulis dalam bentuk karangan ilmiah. Jika pembelajaran pada tingkat BICS si belajar masih lebih berkutat pada penguasaan bahasa sebagai bekalnya, maka tekanan pembelajaran pada tingkat CALP lebih-lebih pada bagaimana dengan bekal bahasanya itu ia dapat memahami dan mengungkapkan idenya kepada mitra diskusi. Ini tidak berarti bahwa bekal bahasanya sudah dikuasainya secara sempurna. Si belajar masih tetap mempelajari bahasanya, tetapi boleh dikatakan sudah pada tingkat "menyempurnakan/memperbaiki".

Penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar tersebut untuk memantapkan kembali peran bahasa Indoensia, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Salah :
1. DIRGAHAYU HUT KE 63
2. DIRGAHAYU RI KE-63
3. SELAMAT DIRGAHAYU RI KE-63
4. DIRGAHAYU KEMERDEKAAN INDONESIA HUT KE-LXIII
5. DIRGAHAYU KEMERDEKAAN KITA KE-63
6. ULANG TAHUN REPUBLIK INDONESIA KE-63
7. PERINGATAN ULANG TAHUN REPUBLIK INDONESIA KE-63
8. HARI ULANG TAHUN REPUBLIK INDONESIA KE-63
9. SELAMAT HARI ULANG TAHUN REPUBLIK INDONESIA LXIII
10. H.U.T. R.I. KE-63
11. HUT LXIII REPUBLIK INDONESIA

Benar :
1. DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA
2. DIRGAHAYU RI
3. DIRGAHAYU INDONESIAKU
4. DIRGAHAYU KEMERDEKAAN INDONESIA
5. DIRGAHAYU KEMERDEKAAN KITA
6. ULANG TAHUN KE-63 REPUBLIK INDONESIA
7. PERINGATAN ULANG TAHUN KE-63 REPUBLIK INDONESIA
8. HARI ULANG TAHUN KE-63 REPUBLIK INDONESIA
9. SELAMAT HARI ULANG TAHUN KE-63 REPUBLIK INDONESIA
10 HUT KE-63 RI
11. HUT KE-63 REPUBLIK INDONESIA

Penulisan tersebut berlaku untuk pembuatan kain rentang/spanduk, baliho, mapun lampu hias. (sumber: indonesia.go.id)

Undang-Undang Ketatabahasaan Indonesia

Zaman globalisasi.......

Dua kata inilah yang membuat orang lupa akan bahasanya sendiri akibatnya bahasa Indonesia menjadi tidak bernyawa. Masyarakat bahkan para Petinggi Negara bila mendengar dua kata ini menjadi berubah bahasanya menjadi sekian derajat. Dulunya bahasa yang mereka gunakan tidak separah-parah amat, sehubungan dengan adanya era globalisasi bahasanya menjadi luntur karena bahasa asing yang datang ke Indonesia.Ketika Anda baca di koran, sekilas melihat tulisan open house. Banyak sekali kata itu di media cetak ketika hari Raya Iedul Fitri tiba.

Adanya era globalisasi bukan menjadi hambatan untuk mencintai bahasanya sendiri sebab bahasa Indonesia sudah menjadi bagian dari hidup kita seperti bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa atau bahasa Nasional, bahasa Indonesia merupakan jati diri kita atau ciri khas sebagai bangsa Indonesia. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan Bahasa Menunjukkan Bangsa.

Filipina, Jepang, dan Perancis merupakan negara yang mencintai bahasanya sendiri. Sangat berbeda jauh sekali dengan negara Indonesia, walaupun adanya era globalisasi mereka tidak terpengaruh karena mereka mempunyai kredibilitas yang sangat tinggi.

Kita ambil contoh seperti di negara Perancis.

Awal April 2003, di Hotel Flat de Douai, Paris. Hotel yang harga inapnya setingkat dengan Santika di Yogyakarta. Alif Dansya Munsyi bertanya dalam bahasa Inggris yang belepotan kepada resepsionisnya. Resepsionis tersebut merupakan orang Perancis asli. Ia benar-benar “tidak mau” menjawab pertanyaan beliau dengan bahasa Inggris. Ia berkata dengan amat percaya diri memakai bahasa Perancis (Bahasa Menunjukkan Bangsa).

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Perancis merupakan negara yang sangat istimewa. Lihatlah nama hotel yang ditempati beliau. Itulah buktinya bahwa mereka mencintai bahasanya. Seandainya negara Indonesia seperti negara Perancis yang mencintai bahasanya, maka masyarakat Indonesia tidak lagi sok nginggris.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa era globalisasi bukan menjadi hambatan untuk mencintai bahasanya sendiri. Ternyata di bahasa oleh ahli-ahli bahasa yang terkenal dalam seminar di Jakarta yang membahas. Mencari jalan keluar dari kondisi Departemen Pendikan Nasional tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Kebahasaan. Rancangan itu berfungsi untuk melindungi Undang-Undang penggunaan bahasa Indonesia, terutama dalam situasi formal.

Sedangkan, untuk penggunaan bahasa sehari-hari di dalam masyarakat tidak diatur. Bahasa gaul, prokem, slang, dan sebagainya tidak terlalu dipermasalahkan sepanjang tidak dipakai dalam situasi formal. Penggunaan variasi bahasa-bahasa tersebut selalu ada di dalam masyarakat yang berkembang. Penggunaan bahasa itu baru dirisaukan jika digunakan oleh media atau dalam situasi formal.

Rancangan Undang-Undang tersebut mempunyai cakupan yang terkait dalam aspek kenegaraan seperti pembuatan nota kesepakatan, dokumen resmi negara, surat resmi, pidato kenegaraan, pengantar pendidikan, pertemuan formal, nama lembaga pemerintah / swasta, geografi karya ilmiah, nota kesepahaman dalam dan luar negeri.

Cakupan lainnya meliputi nama bangunan, kawasan permukiman, informasi petunjuk produk, iklan juga akan diatur menggunakan bahasa Indonesia. Terkecuali yang merupakan lisensi dari luar. Demikian juga dengan papan petunjuk, slogan, petunjuk lalu lintas.

Rancangan perundangan itu juga akan mengatur penguasaan bahasa Indonesia bagi orang asing dan pengantar seleksi tenaga kerja.

Bahasa Indonesia itu penting diatur oleh Undang-Undang dikarenakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Bila bahasa Indonesia tidak diatur oleh Undang-Undang, masyarakat akan seenaknya menggunakan bahasa yang mereka anggap itu gaul

2. Penggunaan bahasa Indonesia yang baku harus digunakan pada situasi formal

Menurut saya, sanksi-sanksi yang harus diberlakukan oleh Undang-Undang yaitu ada dua jenis di antaranya:

1. Sanksi ringan

  • Membuat Tulisan ataupun karangan dalam Bahasa |Indonesia yang baik dan benar
  • Berbicara dengan Bahasa Indonesia dalam segala aktivitas

2. Sanksi berat

Hukuman penjara selama 3,5 tahun

Mengatur penggunaan bahasa merupakan hal yang sangat sulit dikarenakan beberapa faktor yaitu, yang pertama dialek daerah masing-masing yang sangat melekat tiap individu dan yang sekarang tengah berkembang di Indonesia adalah penggunaan bahasa gaul. Sulitnya melepaskan cara berbahasa ini diikuti dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar maka akan sangat sulit bagi pemerintah untuk mengimplementasikan Undang-Undang Kebahasaan ini dalam masyarakat.

Maka menurut saya sebaiknya tujuan pemerintah untuk mengatur penggunaan bahasa ini dimulai dari hal-hal yang sederhana, misalnya memulai penggunaan bahasa Indonesia yang baku dalam lingkungan pendidikan dimulai dari tingkat pendidikan yang rendah. Saya maksudkan di sini, kita melihat bahwa dalam lingkungan kampus mahasiswa yang menggunakan bahasa Indonesia yang baku sangat jarang bahkan tidak ada, oleh sebab itu Undang-Undang Kebahasaan ini sebaiknya mulai diimplementasikan dalam lingkungan pendidikan.

Perlu ditekankan pada pemerintah bila ingin membuat Undang-Undang Kebahasaan yaitu Pemerintah sendiri pun harus mengubah bahasanya bila ingin membentuk Rancangan Undang-Undang Kebahasaan. Jangan sampai pemerintah malah menghancurkan bahasa Indonesia.

Pemerintah pun harus konsekuen terhadap Undang-Undang ini. Bagaimana tidak, apa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini tidak berjalan lancar. Undang-Undang Kebahasaan yang di rancang dari bulan Agustus ternyata belum kelar-kelar. Eh... pemerintah malah membuat Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Guru. Memang sih tidak masuk akal dimasukkan di sini.

Menurut saya yang penting didahulukan yaitu Undang-Undang Kebahasaan jadi saya mengnginkan pemerintah bahwa pemerintah harus selalu mengerjakan pekerjaan yang belum selesai terpecahkan sebab bila ditunda-tunda lagi penggunaan bahasa Indonenglish akan semakin marak atau akan semakin banyak yang sering menggunakannya.


Pernah dengar kata hobbit gak? itu tuh makhluk kerdil yang ada di film lord of the ring yang sejak peluncurannya telah menarik perhatian khalayak ramai.film yang di angkat dari novel karya J.J.R Tolkiens menceritakan tentang cincin ajaib yang harus di hancurkan karena keberadaanya begitu berbahaya. Cincin tersebut di titipkan kepada frodo Baggins, seorang Hobbit yang berukuran sepinggang manusia. Terus Percaya gak kamu kalau Hobbit itu benar-benar ada?

Hari itu tempat parkir di Doba Corniche-Qatar tampak barbeda dengan tempat parkir lainnya. Bukan hanya mobil yang berjejer di parkiran itu, Melainkan puluhan manusia yang berkerumun memperhatikan sesuatu.
sesuatu itu adalah sesosok makhluk kerdil yang berwujud aneh.
Awalnya seorang wanita yang pertama kali melihat makhluk itu didekat sebuah patung di kawasan itu. Keterkejutan wanita saat melihat makhluk itu, menarik perhatian orang disekitarnya. Akhirnya semua orang di situ ikut melihat makhluk itu. Namun tiba-tiba makhluk itu melarikan diri. dan hilang dari pandangan mata ketika orang-orang itu menc0ba mendekatinya. Untungnya seseorang sempat mengabadikan sebelum dia sempat melarikan diri.

Kisah di atas dilansir dari pemberitaan Gulf Times sekitar 1 bulanyang lalu, tepatnya pada hari kamis (23/4/2009) Dan makhluk kecil aneh itu men dapat julukan Al Watan oleh penduduk Qatar. Belakangan orang mulai menghubungkan makhluk itu dengan Hobbit. Legenda makhluk kerdil yang hidup di masa lampau.

Hobbit di kerinci


Bicara tentang Hobbit tentu tak terlepas dari indonesia. Karena di negara yang kita cintai ini, terdapat beberapa bukti keberadaan makhluk kerdil tersebut. Di akhir tahun 2008, dua antopolog berkebangsaan Rusia meninggalkan indonesia. Meraka keluar dari indonesia membawa bukti-bukti penelitian.
Termasuk foto-foto misteri penemuan manusia kerdil di taman nasional Kerinci Seblat, sumatera barat.
helen Von Sternberg dan oleg aligev, dua peeliti asal rusia yang katanya menemukan sang Hobbit di lakasi taman nasional itu.

Keduanya membawa pergi banyak informasi penting, termasuk foto-foto spesies unik itu ke negeri nya. Padahal mengacu etika akademik, semestinya mereka melaporkan terlebih dahulu temuan menarik itu ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI)

Kepala pusat penelitian Pranata pembangunan Universitas Indonesia (UI), S Budi santoso, menyatakan bahwa pihaknya sempat meminta untuk mencegat kedua warga rusia itu di bandara Soekarno Hatta.
Sterenberg dan aligev untuk berkonsultasi padanya. Mereka mengacu telah menemukan satu spesies unik di daerah kerinci seblat dan ingin menggali informasi lebih banyak.
"mereka langsung datang dari kerinci dan datang ke kantor saya" tutur budi.

Dari penuturan keduanya, budi menduga spesies unik itu adalah manusia sadepa. sejenis makhluk berperawakan kerdil yang sejak lama menjadi mitos didaerah kerinci seblat.
Ciri-ciri spesies ini, seperti dituturkan peneliti rusia tadi, antara lain berukuran tubuh kecil(tinggi badan kurang dari 100cm). Kulit wajah halus tanpa kumis, dan tidak memiliki lekukan di bagian bawah mulutnya. diduga manusia kerdil itu masih berumur sangat muda. kedua warga rusia ini mengaku menemukan manusia kerdil ini bersama penduduk setempat.
Sang Hobbit langsung mati ketika di tangkap.
"kemungkinan ia mengalami shock" kata budi.
Hingga kini belum di peroleh informasi terbaru soal jasad si manusia kerdil.

"Mulanya strenberg dan aligev berencana menunjukan gambar-gambar sang Hobbit. Namun mereka lupa membawanya dan berjanji menunjukan di lain waktu" kata budi.
Jika benar penemuan manusia sedepa ini terbilang cerita yang sangat menarik.

Manusia sadepa sejauh ini cuma menjadi mitos bagi penduduk di barat dan utara sumatera.
Sang manusia kerdil di kabarkan pernah d tangkap oleh raja aceh lebih dari seratus tahun lalu di daerah gunung leuser, aceh.

Banyak peneliti dari dalam dan luar negeri yakin, Indonesia merupakan surga bagi species-species manusia unik yang bersembunyi di belantara bumi nusantara.

beberapa tahun lalu juga sempat terbesik kabar penemuan manusia kerdil di daerah Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), jember, jawa timur.
tinggi manusia kerdil itu diperkirakan 80cm dengan panjang telapak kaki dari tumit hingga ibu jari sekitar 9,7cm dan lebar tapak kaki 3,2 cm. Penduduk setempat menamainya si Siwil.


Floresiensis Timbulkan Perdebatan

Pada tahun 2003 di temukan tengkorak kecil dari spesies yang mendekati manusia di pulau flores, indonesia. Ukuran dari tengkorak itu setengah dari ukuran tengkorak manusia.
diperkirakan spesies ini adalah jenis manusia kerdil dari masa lampau. Spesies ini di beri nama Homo Floresiensis karena di temukan di flores.

Dari temuan tengkorak itu, peneliti memperkirakan tubuh makhluk itu hanya setengah dari tubuh manusia biasa. Tinggi mereka hanya 60-120cm, dengan rata-rata 100 cm. Tengkorak yang di temukan di Liang Bua, salah satu gua di flores, dinyatakan sebagai species baru yang mendekati manusia. Beberapa peneliti menyatakan mereka hidup pada 17.000 tahun yang lalu.

Perdebatan mengenai spesies ini terus berlanjut. Pada tahun 2007, di temukan bantahan mengenai Homo floresiensis adalah manusia, karena struktur tulang spesies ini berbeda dengan struktur tulang Homo sapiens (manusia modern).

Prof Dr Teuku Jacob, Guru besar bidang antropologi Universitas Gajah Mada juga mengajukan bantahan. Sependapat dengan Robert Beckhardt dari Penn state University, Menurutnya fosil itu berasa dari tulang orang katai Flores yang menderita penyakit mikrosefali yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.

Pendapat itu di liris dalam jurnal Proceeding Of Royal Society B: Biological Sciences, pada bulan maret 2008, menyatakan bahwa faktor penyebab kerdil karena kekurangan gizi.


Manusia Jenis Baru

Namun penemuan para ilmuwan baru-baru ini menepis keraguan itu. Ilmuwan menemukan lebih banyak bukti bahwa kerangka Hobbit asal Flores , Indonesia merupakan spesies baru manusia.

dalam jurnal ilmiah Nature, Terdapat 2 buah hasil karya penelitian yang mendukung bukti bahwa kerangka Hobbit yang di perkirakan menjelajah Flores hingga 8.000 tahun lalu itu merupakan species baru manusia, demikian keterangan yang di kutip dari BBC News, kamis (7/5/2009). Tim arkeologi kembali menemukan makhluk mungil dengan tinggi 1 meter dan berat 30 KG ini di Gua Liang Bua Kepulauan Flores.
Mereka menduga populasi makhluk kerdil ini termasuk kedalam spesies Homo floresiensis yang terpisah dari kelompok Homo sapiens.

Menurut mereka Hobbits adalah keturunan spesies manusia jaman pra sejarah bernama Homo Erectus Yang tinggal di asia tenggara lebih dari satu juta tahun lalu.
Selama bertahun-tahun selama proses seleksi alam tubuh mereka berevolusi menjadi bentuk yang lebih kecil. Namun beberapa Ilmuwan beragumen bahwa Hobbit memiliki masa otak berukuran seperti otak sinpanse yaitu hampir 400 kubik cm sepertiga dari ukuran otak manusia modern.

Studi terbaru yang dilakukan Dean Falk dan kawan-kawan dari Florida State University, manusia Flores merupakan manusia jenis baru . Analisa Profesor Falk menggunakan 1o tengkorak manusia normal, sembilan tempurung kepala penderita microcephaly, satu manusia kerdil dan tengkorak Hobbit. Bentuk otak dapat di ketahui lewat tengkorak itu.

Falk bersama anggota timnya memasukan model 21 tengkorak itu kedalam komputer. Falk dan rekanya melakukan kajian "virtual endocast" dengan pemodelan tiga dimensi, yang menampilkan citra bentuk otak, corak alur permukaan otak, pembuluh darah pada otak, dan kelengkungan otak. Penelitian dilakukan dengan membandingkan model tiga dimensi otak penderita microcephaly. hasilnya, sama sekali tidak menampakan ciri otak manusia yang mengidap microcephaly.

"kami punya jawaban untuk orang orang yang menduga bahwa hobbit itu mengidap microchephaly " kata Falk, yang juga ketua Departemen Antropologi Florida State Univercity. Dia mengatakan, otak Hobbit tidak seperti penderita microcephaly. Bahkan dia lebih cerdas dari yang diduga.



Dari berbagai Sumber dan koran harian global

HA IPB, Bogor. Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan rupanya masih penasaran dengan susu formula yang diduga mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii (E-Sakazakii). Untuk memastikan hasil penelitian adanya susu berbakteri tersebut, kemarin, gubernur mendadak ke Kampus IPB Dramaga meminta penjelasan langsung dari para peneliti.
Selama satu jam lebih Danny bersama rombongan mendengarkan penjelasan peneliti mengenai bakteri E-Sakazakii yang meresahkan tersebut. Dia didampingi Walikota Bogor Diani Budiarto, Rektor IPB Herry Suhardianto dan para peneliti IPB.
Peneliti IPB Sri Estuningsih mengatakan, bakteri E-Sakazakii sangat berbahaya bagi kesehatan bayi, khusunya yang lahir prematur. Karena dapat menyebabkan kerusakan mulai pencernaan hingga sel syaraf otak, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Menurutnya, penelitian awal terhadap susu bayi dilakukan tahun 2003. Saat itu diambil sampel susu yang dalam kemasannya tertera waktu kadaluarsa yang masih lama. Kemudian saat penelitian tahun 2004, sampel susu diambil pada tahun yang sama, yakni diproduksi sebelum Agustus. Begitupula penelitian tahun 2006, sampel yang diambil adalah susu dan produk makanan bayi sekitar April 2006.
Kendati E-Sakazakii sangat berbahaya, namun kata Sri dapat dihindari dengan mengikuti prosedur cara menyajikan susu yang benar. Pertama, susu dipanaskan hingga mencapai 72 derajat kemudian didinginkan selama 15 menit, dikocok dan diminumkan.

“Kita tidak mungkin menyebutkan merek susu-nya tapi semua merk susu punya potensi yang sama. Tapi selama penyajiannya benar, bakteri ini tidak berbahaya,” ungkap Sri di hadapan Gubernur.

Selain Sri, peneliti lainnya, Ratih Dewanti juga menjelaskan bahwa bakteri E-Sakazakii pada susu formula tidak berbahaya bila masyarakat dapat melakukan penyimpanan dan pembuatan secara benar.
Usai pemaparan, Gubernur meminta masukan peneliti IPB untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai bahaya E-Sakazakii, menyusul berbagai aksi dan protes dari masyarakat yang menilai pemerintah apriori dan tidak tegas. “Masyarakat ini sudah sangat cemas dan resah dengan isu E-Sakazakii, karena menyangkut makanan bayi,” ujarnya.

Gubernur meminta isu ini jangan berlarut-larut karena akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Pemprov Jabar akan bekerjasama dengan IPB melalui dinas kesehatan untuk melakukan sosialisai mengenai penyajian formula susu agar aman dan terhindar dari bakteri E-Sakazakii. “Saya puas dengan penjelasn IPB dan ke depan kami akan membuat sosialisasi kepada masyarakat agar mengerti dan tidak resah lagi,” ujarnya.

Sosialisai itu akan ditempuh dengan membuat poster-poster dan pesan-pesan kesehatan. Nantinya poster itu akan disebarkan ke setiap daerah di Jawa Barat. Poster tersebut akan menjelaskan bagaimana menyajikan susu formula agar aman dikonsumsi bayi.

Pemprov pun akan segera membuat kerjasama dengan IPB untuk mensosialisasikan rencana itu. “Kita sudah dapatkan kepastian dari kasus bakteri E-Sakazakii yang telah diteliti ahli IPB. Kita akan segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam waktu seminggu,” pungkasnya.(dra/pkl3)

sumber : situs alumni IPB.

Oleh : Dr Widodo Judarwanto SpA
PICKY EATERS CLINIC & KLINIK ALERGI ANAK
RUMAH SAKIT BUNDA JAKARTA

HA IPB, Bogor. Penemuan para peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) mengenai adanya Enterobacter Sakazakii (E sakazakii) dalam susu formula anak-anak dan bubur bayi, cukup menghebohkan masyarakat. Temuan ilmiah berharga ini ternyata disikapi oleh sikap tidak etis dan tidak professional oleh pejabat departemen kesehatan. Temuan itu dianggap ada maksud tertentu karena disponsori oleh pihak ke tiga. Bahkan selanjutnya pejabat departemen kesehatan dan BPOM (Balai Pengawasan Obat dan makanan) dengan gagahnya mengatakan bahwa susu bayi aman untuk dikonsumsi. Benarkah susu formula bayi aman dikonsumsi? Benarkah temuan peneliti IPB tersebut? Susu formula manakah yang bermasalah?

Sebenarnya temuan peneliti IPB terhadap 74 sampel susu formula, 13,5 persen di antaranya mengandung bakteri berbahaya tersebut, mungkin tidak terlalu mengejutkan. Karena, USFDA (United States Food and Drug Administration) telah melansir sebuah penelitian prevalensi kontaminasi susu di sebuah negara terhadap 141 susu bubuk formula didapatkan 20 (14 persen) kultur positif E. sakazakii.

Dari berbagai penelitian dan pengalaman di beberapa negara sebenarnya WHO (World Health Organization), USFDA (United States Food and Drug Administration) dan beberapa negara maju lainnya telah menetapkan bahwa susu bubuk formula bayi bukanlah produk komersial yang steril. Sedangkan susu formula cair yang siap saji, dianggap sebagai produk komersial steril karena dengan proses pemanasan yang cukup. Sehingga di bagian perawatan bayi NICU (Neonatal Intensive care Unit), USFDA menggunakan perubahan rekomendasi dengan pemberian susu bayi formula cair siap saji untuk penderita bayi prematur yang rentan terjadi infeksi bakteri itu. Sayangnya di Indonesia produk susu tersebut belum banyak dan relatif mahal harganya.

Bakteri pencemar susu

E. sakazakii pertamakali ditemukan pada tahun 1958 pada 78 kasus bayi dengan infeksi meningitis. Sejauh ini juga dilaporkan beberapa kasus yang serupa pada beberapa Negara. Meskipun bakteri ini dapat menginfeksi pada segala usia tetapi risiko terbesar terkena adalah usia bayi. Peningkatan kasus yang besar di laporkan terjadi di bagian Neonatal Intensive Care Units (NICUs) beberapa rumah sakit di Inggris, Belanda, Amerika dan Kanada. Di Amerika Serikat angka kejadian infeksi E. sakazakii yang pernah dilaporkan adalah 1 per 100 000 bayi. Terjadi peningkatan angka kejadian menjadi 9,4 per 100 000 pada bayi dengan berat lahir sangat rendah (<1,5>

Pada penelitian tahun 2007, beberapa peneliti mengklarifikasi kriteria taksonomi dengan menggunakan cara lebih canggih didapatkan klasifikasi alternatif dengan temuan genus baru yaitu Cronobacter yang terdiri dari 5 spesies. Dengan menggunakan kultur jaringan diketahui efek enterotoksin dan beberapa strain tersebut. Didapatkan 2 jenis strain bakteri yang berpotensi sebagai penyebab kematian, sedangkan beberapa strain lainnya non-patogenik atau tidak berbahaya. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa sudah ditemukan demikian banyak susu terkontaminasi tetapi belum banyak dilaporkan terjadi korban terinfeksi bakteri tersebut. Bukan hanya bakteri E. sakazakii, ternyata masih banyak bakteri lain yang masih dapat hidup di dalam susu bubuk formula. Susu dapat menjadi media pertumbuhan yang baik bagi bakteri, karena di dalamnya terdapat komponen biokimia yang juga diperlukan oleh bakteri untuk tumbuh dan berkembang. Bakteri lain yang sering mengkontaminasi susu formula adalah Clostridium botulinu, Citrobacter freundii, Leuconostoc mesenteroides Escherichia coli Salmonella agona, Salmonella anatum, Salmonella bredeney, Salmonella ealing, Salmonella Virchow, Serratia marcescens, Salmonella isangi dan berbagai jenis salmonella lainnya.

Meskipun infeksi karena bakteri E. sakazakii sangat jarang, tetapi dapat mengakibatkan penyakit yang sangat berbahaya sampai dapat mengancam jiwa, di antaranya adalah neonatal meningitis (infeksi selaput otak pada bayi), hidrosefalus (kepala besar karena cairan otak berlebihan), sepsis (infeksi berat), dan necrotizing enterocolitis (kerusakan berat saluran cerna). Sedangkan pada beberapa kasus dilaporkan terjadi infeksi saluran kencing. Secara umum, tingkat kefatalan kasus (case-fatality rate) atau risiko untuk dapat mengancam jiwa berkisar antara 40-80 persen pada bayi baru lahir yang mendapat diagnosis infeksi berat karena penyakit ini.

Infeksi otak yang disebabkan karena E. sakazakii dapat mengakibatkan infark atau abses otak (kerusakan otak) dengan bentukan kista, gangguan persarafan yang berat dan gejala sisa gangguan perkembangan. Gejala yang dapat terjadi pada bayi atau anak di antaranya adalah diare, kembung, muntah, demam tinggi, bayi tampak kuning, kesadaran menurun (malas minum, tidak menangis), mendadak biru, sesak hingga kejang. Bayi prematur, berat badan lahir rendah (kurang dari 2.500 gram) dan penderita dengan gangguan kekebalan tubuh adalah individu yang paling berisiko untuk mengalami infeksi ini. Meskipun juga jarang bakteri patogen ini dapat mengakibatkan bakterimeia dan osteomielitis (infeksi tulang) pada penderita dewasa. Pada penelitian terakhir didapatkan kemampuan 12 jenis strain E. sakazakii untuk bertahan hidup pada suhi 58 C dalam proses pemanasan rehidrasi susu formula. Sedangkan gejala infeksi oleh bakteri yang mengkontaminasi susu yang lain tidak berbeda jauh dalam mengganggu saluran cerna seperti diare, muntah, demam dan sebagainya

Rekomendasi aman

Melihat beberapa fakta ilmiah tersebut tampaknya berbagai pihak harus arif dan bijak dalam menyikapi kekawatiran ini. Pemerintah dalam hal ini departemen kesehatan dan BPOM harus menyikapi secara profesional dengan melakukan kajian ilmiah mendalam baik secara biologis, epidemiologis, dan pengalaman ilmiah berbasis bukti (evidence base medicine). Jangan terburu-buru mengemukakan rekomendasi sebelum kajian tersebut secara ilmiah telah terbukti aman.

Masyarakat awam tentunya juga jangan terlarut oleh psikologi masa yang sedang heboh. Cermati benar informasi yang diterima dan fakta yang benar. Sebelum ada rekomendasi resmi yang berbasis ilmiah dari pemerintah sebaiknya sementara masyarakat menganut rekomendasi WHO, USFDA dan beberapa negara maju lainnya telah menetapkan bahwa susu bubuk formula bayi bukanlah produk komersial yang steril.
Sedangkan orangtua tetap waspada dan tidak perlu kawatir berlebihan ternyata temuan tersebut juga pernah dilaporkan oleh USFDA tetapi tidak terjadi kasus luar biasa. Karena mungkin sebagian besar adalah kuman non patogen atau yang tidak berbahaya. Individu yang berisiko terkena adalah bayi berat badan lahir rendah, prematur dan manusia dengan daya tahan tubuh yang rendah lainnya. Rekomendasi lain yang harus diperhatikan untuk mengurangi risiko infeksi tersebut adalah cara penyajian susu bubuk formula untuk bayi dengan baik dan benar.

Masyarakat tidak perlu sibuk mencari produk susu mana yang tercemar. Berdasarkan rekomendasi WHO produk susu komersial bubuk formula memang tidak steril, sehingga semua susu berisiko tercemar. Tetapi tidak perlu khawatir, hal ini dapat disikapi dengan dengan pemanasan air di atas 70 derajat Celcius, tetapi bukan dengan air mendidih. Sedangkan di bagian perawatan bayi NICU, direkomendasi dengan pemberian susu bayi formula cair siap saji untuk penderita bayi prematur dan berat badan lahir rendah yang rentan terjadi infeksi.

Rekomendasi lain di antaranya adalah menyajikan hanya dalam jumlah sedikit atau secukupnya untuk setiap kali minum untuk mengurangi kuantitas dan waktu susu formula terkontaminasi dengan udara kamar. Meminimalkan “hang time” atau waktu antara kontak susu dengan udara kamar hingga saat pemberian. Waktu yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 4 jam. Semakin lama waktu tersebut meningkatkan risiko pertumbuhan mikroba dalam susu.

Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut sebaiknya pemerintah dalam hal ini departemen kesehatan dan BPOM harus bertindak cepat dan profesional sebelum terjadi gejolak kegelisahan yang hebat dan korban yang memakan jiwa di masyarakat. Sejauh ini belum ada rekomendasi resmi yang disampaikan oleh instansi yang berwenang dalam menyikapi masalah ini. Sebaiknya nantinya institusi tersebut mengeluarkan rekomendasi resmi berdasarkan kajian ilmiah yang dalam dan cermat. Jangan sampai sikap terburu-buru mengakibatkan kekeliruan dalam mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi yang tidak tepat akan mempertaruhkan jutaan nyawa anak Indonesia. Sehingga tidak ada salahnya, masyarakat sementara tetap mengacu rekomendasi institusi kesehatan internasional bahwa susu-susu bubuk formula bayi memang bukanlah produk komersial yang steril.

sumber : situs alumni IPB

• Problem/Masalah: orientasi permasalahan seperti diuraikan pada bagian berikut.
• Perkuliahan: mahaiswa dibekali prinsip-prinsip dasar metode analitik, dan pengantar menggunakan internet dan perpustakaan untuk menemukan bahan-bahan yang relevan. Tentunya: bagi yang sudah familier dengan internet yang kedua ini tidak terlalu bermanfaat, dan mereka boleh menghindarinya.
• Melacak literatur: berlangsung di luar kelas, mahasiswa menggunakan perpustakaan dan internet untuk memperoleh sumber informasi dalam rangka pemecahan masalah
• Seminar: mahasiswa menyampaikan informasi/gagasan/ide yang telah ditemukan, mendisikusikan masalah dan tukar gagasan.
• Tutorial: apabila mahasiswa mempunyai berbagai pertanyaan, mereka dapat menanyakan kepada dosen selama sesi tutorial ini. Tutor bertindak untuk mengobesrvasi, membimbing, dan mendukung. Setelah mahasiswa menemukan suatu pemecahan, selanjutnya mereka dapat mempersiapkan untuk eksperimen
• Demonstrasi: sebelum mahasiswa melaksanakan eksperimen, dosen dapat mendemonstrasikan (dihadapan mahasiswa) bagaimana mengoperasikan instrumen yang akan digunakan, dan mengenalkan aspek mana yang mendapat perhatian lebih.
• Eksperimen: mahasiswa memperoleh data dari eksperimen, menginterpretasikan hasil, dan menulis laporan. Kegiatan laboratorium menekankan keterampilan teknik dan problem solving.

Dasna (2005) menerapkan model PBL untuk matakuliah Metodologi penelitian Kimia dengan modifikasi langkah-langkah yang dilakukan oleh Liu Yu (2004). Modifikasi dilakukan terkait dengan sifat materi kuliah yang tidak memungkinkan secara langsung mengacu pada masalah nyata. Langkah-langkah pembelajaran dimulai dari ”telaah masalah” untuk memberikan wawasan umum pada mahasiswa tentang apa yang mereka pelajari. Mahasiswa mula-mula diajak berdiskusi untuk membahas suatu karya ilmiah (artikel hasil penelitian) untuk mengidentifikasi ”apa masalah yang dipecahkan pada karya ilmiah tersebut, bagaimana metode pemecahannya, bagaimana hasilnya, relevansinya terhadap teori yang ada, dan pertanyaan yang relevan lainnya. Mahasiswa bekerja berkelompok dan mempresentasikan hasil kerjanya. Kemudian mahasiswa diminta untuk membuat masalah baru dari artikel yang dibacanya.
Untuk menghindari kedangkalan masalah yang dibuat, kemudian diberikan ”kuliah” dimana mahasiswa diberikan bahan kuliah dan pertanyaan-pertanyaan untuk didiskusikan berhubungan dengan materi metode penelitian. Misalnya untuk mengembangkan masalah penelitian diberikan materi ”Apa itu masalah, bagaimana mengembangkan masalah, bagaimana menuliskan rumusan masalah, dan bagaimana mengembangkan latar belakang masalah. Mahasiswa diminta menelusuri literatur lebih lanjut tentang materi yang diberikan.
Setelah pembahasan teori, mahasiswa kemudian mengembangkan masalah yang akan mereka gunakan sebagai judul skripsi. Mula-mula mahasiswa melakukan studi literatur sesuai dengan minat penelitiannya, memilih dan mendiskripsikan masalahnya, mempresentasikan pada kelompok, masukan dari kelompok, diskusi kelas, masukan dari dosen, dan akhirnya penetapan masalah. Masalah yang ditetapkan sebagai judul proposal penelitian tersebut dilanjutkan dengan langkah-langkah masalah berikutnya yaitu kajian teori, perancangan metode penelitian, prosedur kerja, teknik analisis dan pengumpulan data. Masing-masing tahap dilakukan dengan pengembangan oleh mahasiswa, kuliah, lacak literatur, diskripsi oelh mahasiswa, diskusi kelompok, diskusi kelas, presentasi, masukan oleh dosen, dan revisi produk. Langkah-langkan umum pembelajaran disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Model PBL yang dikembangkan Dasna (2006) untuk matakuliah dengan materi berurutan

Model yang dikembangkan pada Gambar 2 adalah PBL untuk suatu materi perkuliahan yang mempunyai sequence yang erat. Dalam hal ini, mahasiswa harus mempunyai ”masalah yang akan diteliti dulu” setelah mengkaji hasil penelitian dan kuliah. Penetapan masalah harus dibuat.dipilih oleh mahasiswa kemudian dipresentasikan di kelompoknya (setiap anggota kelompok presentasi), kemudian dipilih satu masalah untuk dipresentasikan di kelas. Dalam hal ini ada masukan dari kelompok lain dan dosen. Setelah itu dilakukan tutorian individual oleh dosen untuk menyempurnakan produk mahasiswa. Mahasiswa melakukan revisi. Kemudian mahasiswa mengerjakan materi pokok pada tahap berikutnya. Mahasiswa diberikan paparan terori melalui kegiatan diskusi, kemudian mereka melakukan kaji literatur, membuat diskripsi sesuai dengan masalahnya sendiri, presentasi dalam kelompok, diskusi kelas, bimbingan dosen, dan revisi. Kemudian mahasiswa mengembangkan materi berikutnya sesuai langkah-langkah tersebut.
Produk akhir dari kuliah ini adalah proposal penelitian yang merupakan gabungan/kompilasi dari tahap-tahap kerja dalam perkuliahan. Produk akhir keseluruhan (berupa proposal penelitian skripsi) dipresentasikan oleh masing-masing mahasiswa pada seminar kelas.

Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang diharus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa/mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa/mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Siswa/mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.
Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa/mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa/mahasiswa. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu: (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah. Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berfikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula keterampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.
Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi ”masalah” bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyeimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru/dosen pada tahap ini. Walaupun guru/dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa/mahasiswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru/dosen harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan.
Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL. Namun yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas. Apalagi jika PBL digunakan untuk proses pembelajaran di perguruan tinggi.
Lebih lanjut Arends (2004) merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran. Arends mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sintaks Problem Based Learning
Fase Aktivitas guru
Fase 1:
Mengorientasikan mahasiswa pada masalah Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi mahasiswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih
Fase 2:
Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar Membantu mahasiswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi
Fase 3:
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok Mendorong mahasiswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan mencari untuk penjelasan dan pemecahan
Fase 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Membantu mahasiswa merencanakan dan menyi-apkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Fase 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Membantu mahasiswa melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang digunakan selama berlangusungnya pemecahan masalah.

Fase 1: Mengorientasikan mahasiswa pada masalah

Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru/dosen harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa/mahasiswa dan juga oleh dosen. Disamping proses yang akan berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru/dosen akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu: (1) Tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi mahasiswa yang mandiri, (2) Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan, (3) Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun mahasiswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya, dan (4) Selama tahap analisis dan penjelasan, mahasiswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Tidak ada ide yang akan ditertawakan oleh guru atau teman sekelas. Semua mahasiswa diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.

Fase 2: Mengorganisasikan mahasiswa untuk belajar

Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong siswa/mahasiswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah mahasiswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua mahasiswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.

Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok

Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar mahasiswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah-masalah dalam buku-buku. Guru membantu mahasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada mahasiswa untuk berifikir tentang massalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah mahasiswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong mahasiswa untuk menyampikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat mahasiswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi mahasiswa. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”. Oleh karena itu, selama fase ini, guru harus menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas mahasiswa dalam kegaitan penyelidikan.

Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan mempamerkannya

Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berfikir mahasiswa. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan mahasiswa-mahasiswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.

Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah

Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan kete-rampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta mahasiswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.
PBL telah banyak diterapkan dalam pengajaran sains. Gallagher, dkk. (1995) menyatakan bahwa PBL dapat dan perlu termasuk untuk eksperimentasi sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah. Mereka menggunakan suatu kerangka kerja yang menekankan bagaimana para mahasiswa merencanakan suatu eksperimen untuk menjawab sederet pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Gallagher berbasis pada “what do I know”, “what do I need to know”, “what do I need to learn”, dan “how do I measure or describe the result”. Selama fase merancang eksperimen berbasis masalah, para mahasiswa mengembangkan suatu protokol yang mendaftar setiap tahap dalam eksperimen itu. Dalam protokol ini, tampak ada kecenderungan yang khas seperti standar perencanaan laboratorium, menjadi suatu tuntunan metakognitif bagi para mahasiswa untuk digunakan dalam pengembangan eksperimen selanjutnya. Penerapan dengan model ini cukup berhasil serta mendukung bahwa PBL dapat mempelopori penggunaan perencanaan laboratorium melalui metode nontradisional.
Model problem based learning telah digunakan oleh para ahli dalam pembelajaran kimia dan turunannya, antara lain pengajaran Biokimia oleh Dods (1996), pembelajaran kimia sintesis bahan alam kompleks oleh Cannon dan Krow (1998), Yu Ying (2003) dalam pengajaran elektrokimia, dan Liu Yu (2004) dalam pengajaran kimia analitik.
Liu Yu (2004, Dosen Jurusan Kimia Univ. Tianjin China) menggunakan PBL dalam pengajaran Kimia Analitik. Menurut Liu Yu, PBL adalah suatu pembelajaran yang didorong atau ditandai oleh adanya masalah, bukan oleh konsep yang abstrak. Idealnya, masalah tersebut dapat ditemukan atau diperoleh dalam kehidupan nyata, dan tidak cepat terselesaikan tetapi dapat diselesaikan dengan mudah. Dalam merancang kegiatan perkuliahan ini Liu Yu memerlukan waktu 40 jam kuliah dan 32 jam kerja laboratorium. Tujuan perkuliahan adalah: (1) Meningkatkan pengertian lebih mendalam tentang prinsip kimia analitik yang meliputi: sampling, preparasi sampel, separasi, teknik klasik, teknik instrumentasi: spektroskopi, kromatografi, elektrokimia, dan jaminan mutu, (2) Meningkatkan keterampilan teknis kimia analitik dan keterampilan lain pada umumnya, dan (3) Membantu mahasiswa mengembangkan suatu pengertian dan pemahaman yang lebih (mendalam) dan apresiasi terhadap sains.
Prosedur pengembangan PBL yang dilakukan Liu Yu sebagai berikut: